Dengan pengertian itu, kemudian ada yang menyebut bahwa pacaran setelah menikah itu mustahil. Mustahilnya itu seperti mustahilnya pernyataan “indahnya menjadi janin setelah lahir”. Sebab, setelah lahir, kita tidak lagi menjadi janin (calon manusia) yang hidup di rahim. Namun sepertinya makna pacaran sudah mengalami generalisasi, sudah mengalami evolusi perubahan makna. Sebagian orang berpendapat bahwa pacaran identik dengan kegiatan bermesra-mesraan, berdua-duaan mojok di tempat sepi, dan sebagainya.
Bahkan sebagian orang muslim berpendapat bahwa kita bisa siap nikah tanpa pacaran lebih dulu. Benarkah demikian? Menurut saya persangkaan mereka itu bisa saja keliru. Mengingat bahwa nikah merupakan langkah besar dalam kehidupan, kita pada umumnya takkan mungkin siap nikah tanpa melakukan persiapan alias pacaran itu tadi. Ada juga yang mengharamkan pacaran sebelum menikah karena menyangka bahwa “bentuk pacaran pasti tidak lepas dari perkara-perkara haram, khususnya zina”.
Pada kenyataannya, budaya pacaran (percintaan pra-nikah) sudah ada pada zaman Rasulullah. Adakah dalil dari beliau yang mengharamkannya? Ternyata, beliau sama sekali tidak pernah mewanti-wanti para sahabat untuk tidak pacaran. Beliau tidak pernah mengharamkan pacaran. Bahkan, sewaktu menjumpai fenomena pacaran, beliau tidak sekedar membiarkan fenomena ini. Beliau bersimpati kepada pelakunya dan justru mencela sekelompok sahabat yang memandang rendah pasangan tersebut. Beliau menyindir, “Tidak adakah di antara kalian orang yang penyayang?” (HR Thabrani dalam Majma’ az-Zawâid 6: 209)
Setelah browsing sana browsing sini akan saya tuliskan hasil pencarian saya. Bukan berarti saya menganjurkan pacaran seperti yang mungkin di benak kita pada umumnya, yaitu kegiatan yang lebih berkonotasi negatif. Menurut saya pacaran syah-syah saja, asal masih berada dalam batasan-batasannya. Berikut ini penjelasannya :
1.Kata mereka, “Pacaran adalah jalan menuju zina”.
Dengan mengatakan ini, mereka biasanya menggunakan ayat “Dan janganlah kamu mendekati zina…” (QS Al Isra’: 32). Namun demikian tidak memberikan bukti yang meyakinkan bahwa pacaran itu identik dengan “jalan menuju zina”. Menurut hasil penelitian ilmiah justru menunjukkan bahwa pacaran itu TIDAK identik dengan “mendekati zina” misalnya penelitian soal pacaran yang berciuman. Lihat saja salah satu penelitian ilmiah terhadap kalangan remaja yang sedang atau pernah pacaran. Di Medan, 73% responden nggak berciuman dan 96% responden tidak bersanggama. Di Yogyakarta, 76% nggak berciuman dan 92% tidak bersanggama. Di Surabaya, 73% nggak berciuman dan 97% tidak bersanggama. Artinya, hampir semua remaja yang pacaran di kota-kota itu nggak berzina dan sebagian besar tidak berciuman! Lihat Masri Singarimbun, Penduduk dan Perubahan, hlm. 115 dan lebih jelasnya buka ini.
2. Kata mereka, “Pacaran melanggar perintah Allah untuk menundukkan pandangan.”
Kita bisa menanggapi pernyataan mereka ini dengan dua pernyataan. Pertama, pacaran tidak harus dengan pandang-memandang. Jangankan cuma menundukkan pandangan. Tidak memandang sama sekali pun bisa diwujudkan dalam pacaran. Strategi "sengaja jauh di mata" itu diutamakan oleh Ibnu Hazm al-Andalusi tentu saja supaya tidak terjerumus ke lembah dosa. Bisa saja, jarak itu sengaja diciptakan si pencinta supaya sang pujaan tidak malah “lari meninggalkannya”. (Di Bawah Naungan Cinta, hlm. 173), terus menghindari gunjingan, menguji kesetiaan dan kesabaran, menghindari rasa jenuh dan tentu saja untuk menyadari betapa pentingnya keberadaan sang kekasih. Untuk contoh, lihat pacaran islami ala Ibnu Hazm disini yaa.
Kedua, perintah menundukkan pandangan itu berlaku untuk yang disertai dengan syahwat birahi. Memang benar bahwa wanita dapat membangkitkan syahwat laki-laki lebih banyak daripada laki-laki membangkitkan syahwat wanita, dan memang benar bahwa wanita lebih banyak menarik laki-laki, serta wanitalah yang biasanya dicari laki-laki. Namun, semua ini tidak menutup kemungkinan bahwa di antara laki-laki ada yang menarik pandangan dan hati wanita karena kegagahan, ketampanan, keperkasaan, dan kelelakiannya, atau karena faktor-faktor lain yang menarik pandangan dan hati perempuan. Jadi, memandang itu hukumnya boleh dengan syarat jika tidak dibarengi dengan upaya “menikmati” dan bersyahwat. Jika dengan menikmati dan bersyahwat, maka hukumnya haram. Karena itu, Allah menyuruh kaum mukminah menundukkan sebagian pandangannya sebagaimana Dia menyuruh laki-laki menundukkan sebagian pandangannya. Firman Allah: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pendangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya.’” (an-Nur: 30-31 ). Dan akan lebih baik kita menjauhi tempat-tempat dan hal-hal yang mendatangkan keburukan dan bahaya. Kita memohon kepada Allah keselamatan dalam urusan agama dan dunia. Amin. Lihat fatwa Syaikh Qardhawi disini ya
3. Kata mereka, “Pacaran seringnya berdua-duaan (berkholwat).”
Lagi, kita bisa menanggapi pernyataan mereka ini dengan dua pernyataan. Pertama, pacaran tidak harus dengan berdua-duaan. Pacaran bisa dilakukan bersama-sama dengan orang lain seperti contohnya foto orang-orang pacaran yang lagi ikut persiapan pernikahan disini. Dan ada kalanya khalwat itu diperbolehkan, yaitu bila dalam keadaan terawasi. Seorang wanita [non-muhrim] dari kaum Anshar telah mendatangi Nabi saw., lalu beliau berduaan dengannya. (HR Bukhari & Muslim dari Anas bin Malik r.a. Hadits tersebut dimuat di Shahih Bukhari, kitab “Nikah”, bab “Sesuatu Yang Membolehkan Seorang Pria Berkhalwat dengan Seorang Perempuan di Dekat Orang-orang”, jilid 11, hlm. 246. Hadits tersebut juga dimuat di Shahih Muslim, kitab “Keutamaan Para Shahabat”, bab “Keutamaan Kaum Anshar”, jilid 7, hlm. 174.
Apa yang dimaksud dengan “di dekat orang-orang“? Menurut Ibnu Hajar, “di dekat orang-orang” itu maksudnya keadaan mereka berdua “tidak tertutup dari pandangan orang lain” dan suara pembicaraan mereka “terdengar oleh orang lain” walaupun secara sama-samar (sehingga isi pembicaraan mereka tidak diketahui oleh orang lain). Atas dasar itu, kami simpulkan: Kita boleh berduaan dengan non-muhrim bila terawasi, yaitu dalam keadaan yang manakala terlihat tanda-tanda zina, yang ‘kecil’ sekalipun, akan ada orang lain yang menaruh perhatian dan cenderung mencegah terjadinya zina. Penjelasan selanjutnya lihat di sini.
4. Kata mereka, “Dalam pacaran, tangan pun ikut berzina [karena bersentuhan]“.
Mereka menunjukkan dalil “… zina tangan adalah menyentuh …”. Namun mungkin mereka lupa yang dimaksudkan dalam dalil tersebut adalah yang disertai dengan syahwat birahi. HR Bukhari & Muslim menyebutkan "Zinanya mata adalah melihat [sesuatu], zinanya lisan adalah mengucapkan [sesuatu], zinanya hati adalah mengharap dan menginginkan [sesuatu], sedangkan alat kelamin membenarkan atau mendustakan itu [semua]." Jadi, “sesuatu” yang hendaknya kita hindari itu adalah yang mengarah pada hubungan kelamin. Inilah yang dimaksud dengan “sedangkan alat kelamin membenarkan atau mendustakan itu [semua]“. Demikian pula jika menyebutnya sebagai zina hati. Jika kita merindukan si dia atau pun merasakan getaran di hati ketika memikirkan si dia bukanlah tergolong “zina hati”. Pengertian “zina hati” (berzina dalam hati) adalah mengharap dan menginginkan pemenuhan nafsu birahi. Contohnya: berpikiran mesum, “Kapan-kapan aku akan ke tempat kostnya saat sepi tiada orang lain. Siapa tahu dia mau kuajak ‘begituan’.” Seperti yang tercantum di sini. Selain itu,kembali ke butir nomor dua, tanpa bersentuhan pun pacaran bisa dilakukan, dengan penjelasan pacaran islami ala Ibnu Hazm di sini. Meski demikian, mungkin kita sendiri bisa menjaga nafsu kita, tapi kita tidak tahu dengan apa yang ada dipikiran pasangan kita. Bisa jadi dengan menyentuhnya, kita tidak merasakan getaran apa-apa, namun pasangan kita merasakan hal yang berbeda, untuk itu tetap akan lebih baik jika kita menjaga kulit kita untuk tidak bersentuhan, mengingat banyaknya syetan yang beredar. :D
Jadi menurut saya pendapat(hujjah) yang mengharamkan segala jenis pacaran adalah tidak benar. Semuanya tergantung pada niatan kita juga, apa tujuan kita pacaran? Selanjutnya tinggal bagaimana cara kita menjalankannya, mau pacaran yang yang terlarang (yang jahiliyah), atau pacaran yang dibolehkan (yang islami). Dan yang lebih penting kedisplinan kita terhadap tingkah laku dan hati kita sendiri, jangan sampai terjerumus setan. Amiiin
CMIIW
